Qiyamul lail atau yang biasa disebut juga Sholat Tahajjud
atau Sholat Malam adalah salah satu ibadah yang agung dan mulia , yang
disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai ibadah nafilah atau
ibadah sunnah. Akan tetapi bila seorang hamba mengamalkannya dengan
penuh kesungguhan, maka ia memiliki banyak keutamaan. Berat memang,
karena memang tidak setiap muslim sanggup melakukannya.
Andaikan Anda tahu keutamaan dan keindahannya, tentu Anda akan berlomba-lomba untuk menggapainya. Benarkah ?
Ya, banyak nash dalam Alquran dan Assunnah yang menerangkan keutamaan ibadah ini. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama:
Barangsiapa menunaikannya, berarti ia telah mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya: “
Dan
pada sebagian malam hari, sholat tahajjudlah kamu sebagai ibadah
nafilah bagimu, mudah-mudahan Rabb-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (Al-Isro’:79)
Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqor menerangkan:
“At-Tahajjud adalah sholat
di waktu malam sesudah bangun tidur. Adapun makna ayat “sebagai ibadah
nafilah” yakni sebagai tambahan bagi ibadah-ibadah yang fardhu.
Disebutkan bahwa sholat lail itu merupakan ibadah yang wajib bagi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sebagai ibadah tathowwu’
(sunnah) bagi umat beliau.” ( lihat Zubdatut Tafsir, hal. 375 dan Tafsir Ibnu Katsir: 3/54-55)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “
Sholat yang paling utama sesudah sholat fardhu adalah qiyamul lail (sholat di tengah malam).” (Muttafaqun ‘alaih)
Kedua : Qiyamul lail itu adalah kebiasaan orang-orang shalih dan calon penghuni surga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam
taman-taman surga dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang
diberikan oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia)
adalah orang-orang yang berbuat kebaikan, (yakni) mereka sedikit sekali
tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (Adz-Dzariyat: 15-18).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “
Sebaik-baik
lelaki adalah Abdullah (yakni Abdullah bin Umar bin Khaththab
radhiyallahu ‘anhuma, -ed) seandainya ia sholat di waktu malam.”
(HR Muslim No. 2478 dan 2479). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah menasihati Abdullah ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: “
Wahai Abdullah, janganlah engkau menjadi seperti fulan, ia kerjakan sholat malam, lalu ia meninggalkannya.” (HR Bukhari 3/31 dan Muslim 2/185).
Ketiga : Siapa yang menunaikan
qiyamul lail itu, dia akan terpelihara dari gangguan setan, dan ia akan
bangun di pagi hari dalam keadan segar dan bersih jiwanya. Sebaliknya, siapa yang meninggalkan qiyamul lail, ia akan bangun di pagi hari dalam keadan jiwanya dililit kekalutan (kejelekan) dan malas untuk beramal sholeh.
Suatu hari pernah diceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam tentang orang yang tidur semalam suntuk tanpa mengingat untuk
sholat, maka beliau menyatakan: “
Orang tersebut telah dikencingi setan di kedua telinganya.” (Muttafaqun ‘alaih).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menceritakan: “
Setan
mengikat pada tengkuk setiap orang diantara kalian dengan tiga ikatan
(simpul) ketika kalian akan tidur. Setiap simpulnya ditiupkanlah
bisikannya (kepada orang yang tidur itu): “Bagimu malam yang panjang,
tidurlah dengan nyenyak.”
Maka apabila (ternyata) ia bangun dan
menyebut nama Allah Ta’ala (berdoa), maka terurailah (terlepas) satu
simpul. Kemudian apabila ia berwudhu, terurailah satu simpul lagi. Dan
kemudian apabila ia sholat, terurailah simpul yang terakhir. Maka ia
berpagi hari dalam keadaan segar dan bersih jiwanya. Jika tidak (yakni
tidak bangun sholat dan ibadah di malam hari), maka ia berpagi hari
dalam keadaan kotor jiwanya dan malas (beramal shalih).” (Muttafaqun ‘alaih)
Keempat : Ketahuilah, di malam
hari itu ada satu waktu dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
mengabulkan doa orang yang berdoa, Allah akan memberi sesuatu bagi orang
yang meminta kepada-Nya, dan Allah akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya
bila ia memohon ampunan kepada-Nya.
Hal itu sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah dalam sabda beliau: “
Di waktu malam terdapat satu saat dimana Allah akan mengabulkan doa setiap malam.” (HR Muslim No. 757). Dalam riwayat lain juga disebutkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Rabb kalian turun setiap malam ke langit dunia tatkala lewat tengah malam, lalu Ia berfirman: “
Adakah orang yang berdoa agar Aku mengabulkan doanya?” (HR Bukhari 3/25-26). Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “
Barangsiapa
yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya, siapa yang
memohon (sesuatu) kepada-Ku, niscaya Aku pun akan memberinya, dan siapa
yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya.” Hal ini terus terjadi sampai terbitnya fajar. (Tafsir Ibnu Katsir 3/54)
Kesungguhan Salafus Shalih untuk menegakkan Qiyamul lail
Disebutkan
dalam sebuah riwayat, bahwa tatkala orang-orang sudah terlelap dalam
tidurnya, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu justru mulai bangun untuk
shalat tahajjud, sehingga terdengar seperti suara dengungan lebah (yakni
Al-Qur’an yang beliau baca dalam sholat lailnya seperti dengungan
lebah, karena beliau membaca dengan suara pelan tetapi bisa terdengar
oleh orang yang ada disekitarnya, ed.), sampai menjelang fajar
menyingsing.
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah ditanya: “
Mengapa
orang-orang yang suka bertahajjud itu wajahnya paling bercahaya
dibanding yang lainnya?” Beliau menjawab: “Karena mereka suka berduaan
bersama Allah Yang Maha Rahman, maka Allah menyelimuti mereka dengan
cahaya-Nya.”
Abu Sulaiman berkata:
“Malam
hari bagi orang yang setia beribadah di dalamnya, itu lebih nikmat
daripada permainan mereka yang suka hidup bersantai-santai. Seandainya
tanpa adanya malam, sungguh aku tidak suka tinggal di dunia ini.”
Al-Imam Ibnu Al-Munkadir menyatakan : “
Bagiku, kelezatan dunia ini hanya ada pada tiga perkara, yakni qiyamul lail, bersilaturrahmi dan sholat berjamaah.”
Al-Imam Hasan Al-Bashri juga pernah menegaskan: “
Sesungguhnya
orang yang telah melakukan dosa, akan terhalang dari qiyamul lail.” Ada
seseorang yang bertanya: “Aku tidak dapat bangun untuk untuk qiyamul
lail, maka beritahukanlah kepadaku apa yang harus kulakukan?” Beliau
menjawab : “Jangan engkau bermaksiat (berbuat dosa) kepada-Nya di waktu
siang, niscaya Dia akan membangunkanmu di waktu malam.”(Tazkiyyatun Nufus, karya Dr Ahmad Farid)
Pembaca yang budiman, inilah beberapa keutamaan dan keindahan qiyamul
lail. Sungguh, akan merasakan keindahannya bagi orang yang memang
hatinya telah diberi taufik oleh Allah Ta’ala, dan tidak akan merasakan
keindahannya bagi siapa pun yang dijauhkan dari taufik-Nya.
Mudah-mudahan, kita semua termasuk diantara hamba-hamba-Nya yang diberi
keutamaan menunaikan qiyamul lail secara istiqamah. Wallahu waliyyut
taufiq.
Dikutip dari salafy.or.id offline tulisan al Ustadz Abu Hamzah Yusuf. Judul: Indahnya Qiyamul Lail
Kaifiat/Cara pelaksanaannya
Pertanyaan: Assalaamu’alaikum, ana (saya) ‘Abdullah
ingin bertanya tentang bagaimana cara shalat tahajjud yang sesuai dengan
sunnah dan kapan ana bisa mendapati malam lailatul qodar? Bagaimana
tentang imsak, apakah ada atau tidak? Kapan batasannya sahur?
Jazaakumullaahu khairan. (08156177***)
Jawaban: Wa’alaikumus salaam warahmatullaah.
Shalat tahajjud (kalau di bulan Ramadhan lebih dikenal dengan istilah
tarawih) yang sesuai dengan sunnah adalah sebelas raka’at sebagaimana
diterangkan dalam hadits ‘A`isyah:
مَا كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Nabi tidak pernah shalat malam baik di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka’at.” (HR. Al-Bukhariy no.1147 dan Muslim no.738)
Sebelas raka’at di sini termasuk di dalamnya shalat witir tiga raka’at yang bisa dilakukan dengan dua cara:
shalat dua raka’at dan salam kemudian shalat satu raka’at atau cara yang kedua,
shalat tiga raka’at sekaligus dengan satu tahiyyat di raka’at ketiga kemudian salam.
Tapi cara pertama itulah yang lebih utama.
Dan dikerjakan dua-dua artinya setiap dua raka’at diakhiri salam,
sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Umar, dia berkata: Seorang
laki-laki berdiri lalu berkata: Ya Rasulullah, bagaimana (caranya)
shalat malam? Rasulullah bersabda:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ
“Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at, jika kamu takut masuk waktu shubuh maka witirlah satu raka’at.” (HR. Muslim no.749)
Sehingga shalat malam itu paling sedikit satu raka’at (yaitu shalat witirnya saja) dan paling banyaknya 11 raka’at.
Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Nabi shalat 13 raka’at maka 2
raka’atnya itu adalah shalat ba’da ‘isya atau qabliyyah shubuh.
Dan paling utama dilakukan pada sepertiga malam akhir. (Lihat HR. Al-Bukhariy no.1131, 4569 dan Muslim no.1159)
Lebih detailnya bisa dilihat di dalam kitab Qiyaamu Ramadhaan atau Shalaatut Taraawiih karya Asy-Syaikh Al-Albaniy.
[Buletin AL Wala’ wal Bara’ Edisi ke-49 Tahun ke-2 / 29 Oktober 2004 M / 15 Ramadhan 1425 H]
Kaifiat Qiyamullail (Shalat Lail)
Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ
يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ
يُصَلِّي ثَلَاثًا.
فَقَالَتْ عَائِشَةُ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ
تُوتِرَ؟ فَقَالَ: يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا
يَنَامُ قَلْبِي
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat (lail) baik di dalam bulan ramadhan maupun di luar ramadhan tidak pernah lebih dari 11 rakaat. Beliau memulai dengan mengerjakan 4 rakaat, kamu tidak usah menanyakan bagaimana baik dan panjangnya shalat beliau. Setelah itu beliau kembali mengerjakan 4 rakaat, kamu tidak usah menanyakan bagaimana baik dan panjangnya shalat beliau. Kemudian beliau shalat tiga rakaat.”
Aisyah berkata: Lalu aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah anda tidur
sebelum witir?” Beliau menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua
mataku memang tidur namun hatiku tidak.”(HR. Al-Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Dari Abdullah bin Amr radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَحَبَّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَأَحَبَّ
الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ
يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَكَانَ
يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
“Sesungguhnya puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Daud,
sedangkan shalat yang paling disukai Allah adalah juga shalat Daud
alaihissalam. Beliau tidur hingga pertengahan malam, kemudian
bangun (untuk shalat lail) selama sepertiga malam, lalu kembali tidur
pada seperenamnya (sisa malam). Dan beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari.” (HR. Al-Bukhari no. 1131)
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Ada
seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tentang shalat malam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari
kalian khawatir akan masuk waktu shubuh, hendaklah dia shalat satu
rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalat yang telah dilaksanakan
sebelumnya.” (HR. Al-Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749)
Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
قَامَ مِنْ اللَّيْلِ لِيُصَلِّيَ افْتَتَحَ صَلَاتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ
خَفِيفَتَيْنِ
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun di malam
hari untuk menunaikan shalat malam, biasanya beliau memulai shalatnya
dengan dua rakaat ringan.” (HR. Muslim no. 767)
Waktu shalat lail
Awal waktu shalat lail adalah setelah shalat isya dan akhir waktunya adalah setelah terbit fajar kedua. Ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu anha dia berkata,
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengerjakan shalat sebelas rakaat pada waktu antara selesai shalat isya sampai subuh.” (HR.
Muslim no. 736) Juga berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas. Karenanya
Ibnu Nashr berkata dalam Mukhtashar Qiyam Al-Lail hal. 119, “Yang
disepakati oleh para ulama adalah: Antara shalat isya
hingga terbitnya fajar (shadiq/kedua) adalah waktu untuk mengerjakan witir.”
Karenanya jika ada orang yang shalat maghrib-isya dengan jama’
taqdim, maka dia sudah boleh mengerjakan shalat lail walaupun waktu isya
belum masuk. Sebaliknya,
walaupun sudah jam 10 malam tapi jika dia belum shalat isya, maka dia belum diperbolehkan shalat lail.
Hanya saja waktu yang paling ideal adalah dikerjakan selepas pertengahan
malam, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Amr di atas.
Jumlah rakaatnya
Shalat lail minimal 2 rakaat dan paling banyak tidak terbatas.
Ini berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas. Hanya saja, walaupun
dibolehkan mengerjakan shalat lail tanpa ada batasan rakaat (selama itu
genap), akan tetapi sunnahnya dia hanya mengerjakan 8 rakaat (plus witir
3 rakaat) berdasarkan hadits Aisyah yang pertama di atas.
Disunnahkan juga untuk mengerjakan 2 rakaat ringan sebelum shalat lail -berdasarkan hadits Aisyah yang terakhir di atas-, sehingga total rakaatnya adalah 13 rakaat.
Beberapa Cara/Kaifiyat melakukan Shalat Tahajud & Witir
1. Sholat 13 raka’at dibuka dengan 2 raka’at ringan. Hal ini berdasarkan hadits hadits Zaid bin Kholid Al-Juhany radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim, beliau berkata :
“Sungguh saya akan memperhatikan sholat Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di malam hari maka beliau
sholat dua raka’at ringan kemudian beliau sholat dua raka’at panjang,
panjang, panjang sekali kemudian beliau sholat dua raka’at lebih pendek
dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka’at dan
keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau sholat
dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya
kemudian beliau sholat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua
raka’at sebelumnya kemudian beliau berwitir maka itu (jumlahnya) tiga
belas raka’at”.
Dan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Muslim, beliau
berkata : “Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
apabila beliau berdiri di malam hari untuk sholat maka beliau membuka
sholatnya dengan dua raka’at yang ringan”
2. Sholat 13 raka’at, 8 raka’at diantaranya dilakukan dengan
salam pada setiap 2 raka’at kemudian witir 5 raka’at dengan satu kali
tasyahhud dan satu kali salam.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha Riwayat Muslim :
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sholat di
malam hari 13 raka’at, beliau witir darinya dengan 5 (raka’at) tidaklah
beliau duduk pada sesuatupun kecuali hanya pada akhirnya”
3. Sholat 11 raka’at dengan salam pada setiap 2 raka’at dan witir dengan 1 raka’at. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Muslim, beliau berkata :
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sholat antara
selesainya dari sholat isya` sampai sholat fajr (sholat subuh) sebelas
raka’at, Beliau salam setiap dua raka’at dan witir dengan satu raka’at”.
4. Sholat 11 raka’at, tidak duduk kecuali pada raka’at kedelapan
kemudian tasyahhud tanpa salam lalu berdiri untuk raka’at kesembilan
kemudian salam, lalu sholat dua raka’at lagi dalam keadaan duduk.
Hal tersebut diterangkan dalam hadits Sa’ad bin Hisyam bin ‘Amir riwayat
Muslim, beliau bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang
bagaimana sholat witir Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, maka beliau menjelaskan :
“… Maka beliau bersiwak, berwudhu’ dan sholat 9 raka’at beliau tidak
duduk kecuali pada yang kedelapan kemudian beliau berdzikir kepada
Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya lalu berdiri dan tidak salam.
Kemudian beliau berdiri untuk kesembilan lalu duduk kemudian beliau
berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya lalu beliau
salam sengan (suara) salam yang beliau perdengarkan kepada kami kemudian
beliau sholat dua raka’at setelah salam dalam keadaan duduk, maka itu
11 raka’at wahai anakku. Ketika Nabi Allah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam telah berumur dan beliau bertambah daging (Baca
bertambah berat) maka beliau witir dengan 7 (raka’at) dan berbuat pada
yang dua raka’at seperti perbuatan beliau yang pertama, maka itu adalah
sembilam (raka’at) wahai anakku”
5. Sholat 9 raka’at, tidak duduk kecuali pada raka’at keenam
kemudian tasyahhud tanpa salam lalu berdiri untuk raka’at ketujuh
kemudian salam, lalu sholat dua raka’at lagi dalam keadaan duduk.
Hal ini di terangkan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas.
Berkata Syaikh Al-Albany : “Ini adalah beberapa kaifiyat yang Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melakukannya pada sholat
lail dan witir. Dan mungkin untuk ditambah dengan
bentuk-bentuk yang lain, yaitu dengan mengurangi pada setiap bentuk yang
tersebut jumlah raka’at yang ia kehendaki dan bahkan boleh baginya
untuk membatasi dengan satu raka’at saja.”
Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla menyebutkan beberapa bentuk lain :
6. Sholat 13 raka’at, yaitu salam pada setiap dua raka’at dan witir satu raka’at.
7. Sholat 8 raka’at dengan salam pada setiap 2 raka’at kemudian ditambah witir 1 raka’at.
8. Sholat 6 raka’at dengan salam pada setiap 2 raka’at kemudian witir 1 raka’at.
9. Sholat 7 raka’at, tidak tasyahhud kecuali pada yang keenam kemudian berdiri sebelum salam
untuk raka’at ketujuh lalu duduk tasyahhud dan salam.
10. Sholat 7 raka’at dan tidak duduk untuk tasyahhud kecuali di akhirnya.
11. Sholat 5 raka’at dan tidak duduk untuk tasyahhud kecuali di akhirnya.
12. Sholat 3 raka’at, duduk tasyahhud pada raka’at kedua dan salam lalu witir 1 raka’at.
13. Sholat 3 raka’at tidak duduk tasyahhud dan salam kecuali pada raka’at terakhir2.
14. Sholat witir satu raka’at.
Demikian beberapa kaifiyat yang disebutkan oleh Syaikh Al-Albany dalam
Sholatut Tarawih hal. 86-94 (Cet. Kedua) dan Qiyamu Ramadhan hal. 27-30
dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 3/42-48. Dan Syaikh Al-Albany juga
menyebutkan kaifiyat lain
yaitu sholat 11 raka’at ; 4 raka’at sekaligus dengan sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam lalu 3 raka’at.
Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidaklah
menambah pada (bulan) Ramadhan dan tidak pula pada selain Ramadhan lebih
dari sebelas raka’at. Beliau sholat empat (raka’at) jangan kamu tanya
tentang baiknya dan panjangnya, kemudian beliau sholat empat (raka’at)n
jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya kemudian beliau sholat
tiga (raka’at)”.
Namun ada perbedaan pendapat di kalangan para Ulama tentang kaifiyat ini.
Pendapat Abu Hanifah, Ats-Tsaury dan Al-Hasan bin Hayy boleh melakukan
Qiyamul Lail 2 raka’at sekaligus, boleh 4 raka’at sekaligus, boleh enam
raka’at sekaligus dan boleh 8 raka’at sekaligus, tidak salam kecuali di
akhirnya. Kelihatannya pendapat ini yang dipegang oleh Syaikh Al-Albany
sehingga beliau menetapkan kaifiyat sholat 11 raka’at ; 4 raka’at
sekaligus dengan sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam
lalu 3 raka’at dengan sekali salam.
Dan disisi lain, jumhur Ulama seperti Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq,
Sufyan Ats-Tsaury, Ibnul Mubarak, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, Muhammad
bin Hasan, dan Ibnul Mundzir serta yang lainnya menghikayatkan pendapat
ini dari Ibnu ‘Umar, ‘Ammar radhiyallahu ‘anhuma, Al-Hasan, Ibnu Sirin,
Asy-Sya’by, An-Nakha’iy, Sa’id bin Jubair, Hammad dan Al-Auza’iy. Dan
Ibnu ‘Abdil Barr berkata : “Ini adalah pendapat (Ulama) Hijaz dan
sebahagian (Ulama) ‘Iraq.”, semuanya berpendapat bahwa sholat malam itu
adalah dua raka’at-dua raka’at yaitu harus salam pada setiap dua
raka’at. Ini pula pendapat yang dkuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz beserta
para Syaikh anggota Al-Lajnah Ad-Da`imah, dan juga pendapat Syaikh Ibnu
‘Utsaimin dan lain-lainnya
sehingga mereka semua menyalahkan orang yang memahami hadits ‘Aisyah
di atas dengan kaifiyat sholat 11 raka’at ; 4 raka’at sekaligus dengan
sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam lalu 3 raka’at, dan
menurut mereka pemahaman yang benar adalah bahwa 4 raka’at dalam hadits
itu adalah dikerjakan 2 raka’at 2 raka’at .
Tarjih
Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat Jumhur Ulama
berdasarkan hadits hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma
riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa‘ala
alihi wa sallam bersabda :
“Sholat malam dua (raka’at) dua (raka’at)”
Hadits ini adalah berita namun bermakna perintah yaitu perintah untuk
melakukan sholat malam dua dua raka’at. Demikian keterangan Syaikh Ibnu
Baz dalam Majmu’ Fatawa beliau 11/323-324.
Baca pembahasan tentang masalah di atas dalam : Al-Istidzkar 2/95-98,
104-106, Fathul Bari 4/191-198, Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah 7/199-200
dan Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/18-20.
Dan juga para Ulama berselisih pendapat tentang dua raka’at setelah
witir pada kaifiyat no. 4 dan 5, ada tiga pendapat di kalangan ulama :
1. Sunnah dua raka’at setelah witir. Ini pendapat Katsir bin Dhomrah dan
Khalid bin Ma’dan. Dan Al-Hasan dan Abu Mijlaz melakukannya, sedangkan
Ibnu Rajab menukil hal tersebut dari sebahagian orang-orang Hanbaliyah.
2. Ada rukhshoh (keringanan) dalam hal tersebut dan bukan makruh. Ini adalah pendapat Al- Auza’iy, Ahmad dan Ibnul Mundzir.
3. Hal tersebut Makruh. Ini pendapat Qais bin ‘Ubadah, Malik dan Asy-Syafi’iy.
Tarjih
Tentunya dalil-dalil yang menjelaskan tentang kaifiyat itu adalah hujjah
yang harus diterima tentang disyari’atkannya sholat dua raka’at setelah
witir. Berkata Ibnu Taimiyah : “Dan kebanyakan Ahli Fiqh tidak
mendengar tentang hadits ini (yaitu hadits tentang adanya dua raka’at
setelah witir di atas,-pent.), kerena itu mereka mengingkarinya. Dan
Ahmad dan selainnya mendengar (hadits) ini dan mengetahui keshohihannya
dan Ahmad memberi keringanan untuk melakukan dua raka’at ini dan ia
dalam keadaan duduk sebagaimana yang dikerjakan oleh (Nabi) shollallahu
‘alaihi wa sallam. Maka siapa yang melakukan hal tersebut tidaklah
diingkari, akan tetapi bukanlah wajib menurut kesepakatan (para Ulama)
dan tidak dicela orang yang meniggalkannya….”
Baca : Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 23/92-94, Fathul Bari Ibnu Rajab 6/260-264 dan Al- Mughny 2/281.
1 Yaitu disaksikan oleh malaikat rahmat. Demikian keterangan Imam An-Nawawy dalam Syarah Muslim 6/34.
2 Tambahan dari penulis dan tidak tertera dalam Al-Muhalla.
3 Artinya : Maha suci Yang Maha berkuasa lagi Yang Maha suci.
Bacaan Dalam Sholat Tahajud
Berkata Syaikh Al-Albany dalam Qiyamu Ramadhan hal. 23-25 :
“Adapun
bacaan dalam sholat lail pada Qiyam Ramadhan dan selainnya, maka Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak menetapkan suatu
batasan tertentu yang tidak boleh dilampaui dengan bentuk tambahan
maupun pengurangan. Kadang beliau membaca pada setiap raka’at sekadar
“Ya Ayyuhal Muzzammil” dan ia (sejumlah) dua puluh ayat dan kadang
sekadar lima puluh ayat. Dan beliau bersabda :
“Siapa yang sholat dalam semalam dengan seratus ayat maka tidaklah ia terhitung dalam orangorang yang lalai”
“… dengan dua ratus ayat maka sungguh ia terhitung dari orang-orang yang Qonit (Khusyu’, panjang sholatnya,-pent.) lagi Ikhlash”
Dan
beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam pada suatu malam dan
beliau dalam keadaan sakit membaca tujuh (surah) yang panjang, yaitu
surah Al-Baqarah, Ali ‘Imran, An-Nisa`, Al- Ma`idah, Al-An’am, Al-A’raf
dan At-Taubah.
Dan dalam kisah sholat Hudzaifah bin Al-Yaman di belakang Nabi
‘Alaihish Sholatu was Salam bahwa beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam membaca dalam satu raka’at Al-Baqarah kemudian An-Nisa’
kemudian Ali ‘Imran dan beliau membacanya lambat lagi pelan.
Dan telah tsabit (syah, tetap) dengan sanad yang paling shohih bahwa
‘Umar radhiyallahu ‘anhu tatkala memerintah Ubay bin Ka’ab sholat
mengimami manusia dengan sebelas raka’at dalam Ramadhan, maka Ubay
radhiyallahu ‘anhu membaca dua ratus ayat sampai orang-orang yang di
belakangnya bersandar di atas tongkat karena lamanya berdiri dan
tidaklah mereka bubar kecuali pada awal-awal fajar.
Dan juga telah shohih dari ‘Umar bahwa beliau memanggil para pembaca
Al-Qur`an di bulan Ramadhan kemudian beliau memerintah orang yang paling
cepat bacaannya
untuk membaca 30 ayat, orang yang pertengahan (bacaannya) 25 ayat dan orang yang lambat 20 ayat.
Dibangun di atas hal tersebut, maka kalau seseorang sholat sendirian
disilahkan memperpanjang sholatnya sesuai dengan kehendaknya, dan
demikian pula bila ada yang sholat bersamanya dari kalangan orang yang
sepakat dengannya (dalam memperpanjang,-pent.), dan semakin panjang maka
itu lebih utama, akan tetapi jangan ia berlebihan dalam memperpanjang
sampai menghidupkan seluruh malam kecuali kadang-kadang, dalam rangka
mengikuti Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang bersabda
:
“Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam)”
Dan apabila ia sholat sebagai imam maka hendaknya ia memperpanjang
dengan sesuatu yang tidak memberatkan orang-orang di belakangnya,
berdasarkan sabda beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
“Apabila salah seorang dari kalian Qiyam mengimami manusia maka
hendaknya ia memperingan sholatnya karena pada mereka ada anak kecil,
orang besar, pada mereka orang lemah, orang sakit dan orang yang
mempunyai keperluaan. Dan apabila ia Qiyam sendiri maka hendaknya ia
memperpanjang sholatnya sesuai dengan kehendaknya”.”
Demikian keterangan Syaikh Al-Albany tentang bacaan pada Qiyamul
lail, adapun dalam sholat witir, berikut ini beberapa hadits yang
menjelaskannya, diantaranya adalah hadits Ubay bin Ka’ab riwayat Imam
Ahmad dan lain-lainnya, beliau berkata :
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
membaca pada witir dengan “Sabbihisma Rabbikal A’la”, “Qul Ya Ayyuhal
Kafirun” dan “Qul Huwallahu Ahad”. Apabila beliau salam, belaiu berkata :
“Subhanal Malikil Quddus”3 tiga kali.” (Dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’Ash-Shohih 2/160-161.)
Dan dalam hadits ‘Abdurrahman bin Abi Abza riwayat Ahmad dan lainnya,
beliau berkata : “Sesungguhnya beliau membaca pada witir dengan
“Sabbihisma Rabbikal A’la”, “Qul Ya Ayyuhal Kafirun” dan “Qul Huwallahu Ahad”.
Apabila beliau salam, belaiu berkata : “Subhanal Malikil Quddus,
Subhanal Malikil Quddus, Subhanal Malikil Quddus.” dan beliau mengangkat
suaranya dengan itu .” (Dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam
Al-Jami’Ash-Shohih 2/161.)
Berdasarkan dua hadits di atas, Ats-Tsaury, Ishaq dan Abu Hanifah
menganggap sunnah membaca tiga surah di atas dalam sholat witir. Imam
Malik dan Asy-Syafi’iy juga menganggap sunnah hal tersebut namun mereka
dalam raka’at ketiga selain dari surah Al-Ikhlash juga menganggap sunnah
menambahnya dengan surah Al-Falaq dan surah An-Nas. Namun hadits
mengenai tambahan dua surah tersebut dianggap lemah oleh Imam Ahmad,
Ibnu Ma’in dan Al- ‘Uqaily, karena itu seharusnya orang yang sholat
witir tiga raka’at hanya terbatas dengan membaca surah Al-Ikhlash pada
raka’at ketiga.
Syaikh Al-Albany dalam Sifat Sholat An-Nabi hal. 122 (Cet. Kedua
Maktabah Al-Ma’arif) juga menshohihkan hadits bahwa membaca dalam
raka’at witir dengan seratus ayat dari An-Nisa`.
Baca : Al-Mughny 2/599-600, Al-Majmu’ 2/599 dan Syarhus Sunnah 4/98.
Sumber:
http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1784